Soeharto dan Momen Penting Saat Bea Cukai Pernah Dibekukan

Sejarah mencatat Presiden Soeharto pernah membekukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada era Orde Baru. Keputusan ekstrem ini diambil akibat praktik korupsi sistemik yang dinilai merugikan negara dan menghambat perdagangan.


Pembekuan Bea Cukai: Keputusan Langka di Era Orde Baru

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia pernah mengalami satu kebijakan ekstrem yang jarang terjadi dalam sejarah birokrasi nasional: pembekuan sementara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Langkah ini diambil pada pertengahan 1980-an, ketika pemerintah menilai institusi tersebut sarat dengan praktik korupsi, pungutan liar, dan penyalahgunaan wewenang.

Keputusan tersebut menjadi sinyal keras bahwa negara menganggap masalah di tubuh Bea Cukai sudah berada pada level darurat. Dalam konteks Orde Baru yang dikenal sangat menekankan stabilitas ekonomi dan kontrol negara, pembekuan lembaga strategis seperti Bea Cukai bukan perkara kecil.


Latar Belakang: Korupsi dan Ekonomi Biaya Tinggi

Pada era itu, Bea Cukai memegang peran vital dalam:

  • pengawasan lalu lintas barang impor dan ekspor,

  • penerimaan negara dari bea masuk dan pajak perdagangan,

  • serta pengendalian arus barang strategis.

Namun, laporan internal dan keluhan pelaku usaha menunjukkan bahwa praktik suap, pungli, dan permainan oknum aparat membuat proses impor-ekspor menjadi mahal dan lambat. Kondisi ini menciptakan high cost economy, bertolak belakang dengan upaya Soeharto yang saat itu sedang mendorong deregulasi dan ekspor nonmigas.

Situasi tersebut akhirnya mendorong Presiden Soeharto mengambil langkah drastis: membekukan sementara fungsi Bea Cukai dan mengalihkan sebagian tugasnya ke institusi lain.


Bentuk Pembekuan dan Dampaknya

Pembekuan Bea Cukai bukan berarti institusi tersebut dibubarkan total, melainkan:

  • kewenangan operasionalnya dibatasi,

  • sebagian fungsi pengawasan dialihkan ke TNI dan instansi terkait,

  • dilakukan pembersihan internal dan penataan ulang sistem kerja.

Langkah ini berdampak besar:

  • proses impor sempat terganggu,

  • terjadi penyesuaian di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok,

  • namun sekaligus menjadi shock therapy bagi birokrasi.

Pesan politiknya jelas: jika lembaga negara dianggap merusak kepentingan ekonomi nasional, maka Presiden siap bertindak tegas.


Reformasi Pasca Pembekuan

Setelah masa pembekuan dan evaluasi, Bea Cukai kembali diaktifkan dengan sejumlah perubahan, antara lain:

  • pengetatan pengawasan internal,

  • perombakan personel,

  • serta penyesuaian sistem pelayanan.

Momen ini sering disebut sebagai salah satu contoh kepemimpinan otoriter-teknokratis Soeharto, di mana stabilitas ekonomi dan kepentingan negara ditempatkan di atas keberlangsungan lembaga.


Relevansi dengan Kondisi Saat Ini

Kisah pembekuan Bea Cukai di era Soeharto kembali relevan ketika publik menyoroti:

  • kasus korupsi aparat pajak dan bea cukai,

  • gaya hidup pejabat yang mencolok,

  • serta tuntutan reformasi birokrasi.

Meski konteks politik kini berbeda, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa pembersihan institusi negara pernah dilakukan dengan cara ekstrem, dan selalu lahir dari krisis kepercayaan publik.


Kesimpulan

Pembekuan Bea Cukai di masa Presiden Soeharto adalah momen penting dalam sejarah tata kelola pemerintahan Indonesia. Langkah tersebut menunjukkan bagaimana negara merespons korupsi struktural dengan pendekatan keras demi menjaga stabilitas ekonomi. Hingga kini, peristiwa itu masih menjadi referensi ketika wacana reformasi birokrasi dan penegakan integritas kembali menguat.